HUKUM ADAT WARIS MATRINIAL (MINANGKABAU
loading...
HUKUM ADAT WARIS MATRINIAL (MINANGKABAU)
RESUME
Dibuat untuk Menuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen : E. Hasbi Nassrudin S.H., M.H.
Oleh :
Ahmadsyah (1143060005)
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015 HUKUM ADAT WARIS MATRINIAL (MINANGKABAU)
DI Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurutb suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok etnik. Hukum waris menurut hukum adat minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daaerah lain di Indonesia ini. Dengan sistem tersebut maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta turun dari satu generasi.
Harta kaum dalam masyarakat minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri dari :
Harta pusaka tinggi
Yaitu harta turun temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini mnurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan kepada tidak boleh diwariskan kepada anak.
Harta pusaka rendah
Yaitu harta yang turun temurun dari satuu generasi.
Harta pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meningal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini ssejak tahun 1952 ninik mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain yaitu bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak sepertiga dari harata pencaharian untuk kemenakan.
Harta suarang
sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa diantaranya: harta pasuarangan, hrta basarikatan, harta kaduo-duo, atau harta salamo baturutan, yaitu saluran harta benda yang diperoleh secara bersama-bersama oleh suami istri selama perkawinan, tidak termasuk kedalam harta suarang ini harta bawaan suami atau harta tepatan istri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung. dengan deiian jelaslah, bahw harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.
Hukum waris adat dengan sistem matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibu bauk harta pencaharian maupun harta bawaan. meurut hukum adat minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:
Waris bertali darah
Yaitu waris yang sesaama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. setiap nagari di minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersennndiri untuk wali bertali adat sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut:
Waris menurut caranya menjadi waris: waris batali budi, waris batali ameh, waris tambilang basi dan waris tambilang perak
Menurut jauh dekatnya terdiri dari: waris dibawah daguek, waris didado, waris dibawah pusat dan waris dibawah lutut.
Menurut datangnya yaitu: waris orang dating, waris air tawar dan waris mahindu.
Waris bertali budi
Yaitu waris dari orang lain yang sering datamg berkunjung di bawah lindungan satu penghulu.
Waris di bawah lutuik
Yaitu waris yang asalnya tidak jelas dan keturunan pembantu yang menetap sebagai anggota kerabat.
Dari ketiga macam ahli waris atau kemekanan tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan betali darag yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke atas. Para ahli waris tersebut berhak menghalangi tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang tidak mereka setujui. Sedangkan kmenakan lainnya yang bertali adat, bertali budi dan dibawah lutuik bukan ahli waris dri satu gadang atau dari satu kesatuan kerabat yang disebut kaum. Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di atas satu sama lain berbeda-bda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dibawah ini:
mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemiliknya dan dimungkinkan dilakukan “gangguan bauntuek”. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi pemiliknya diantara ahli waris harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang aggota kaum daari ahli mamak kepala ahli waris selanjutnya dijual atau digadaikan guna keprluan modl berdagang atau merantau asal saja dengan sepengetahuan ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual guna keperluan:
Untuk membayar hutang kehormatan
Untuk membayar ongkos memprbaiki bandar sawah kepunyaan kaum
Untuk membayar hutang arah
Untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal
Untuk ongkos naik haji ke mekah.
Mengenai harta pusaka rendah
Semua harta pusaka rendah adalah harta pencaharian, Harta pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seorang diwarisi oleh jurai atau setidaknya kaum masing-maasing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan ayahnya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam. Maka seorang ayah dengan mata pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka istrinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian dll. Hal ini bermaksud untuk membekali istri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.
Mengenai harta sarang
Harta sarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh oleh suami istri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua priode, yaitu dahulu ketika suuami masih merupakan anggota keluarganya ia berusaha bukan untuk anak istrinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinan terbentuk harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak anak dan dan istrinya saudara atau mamak istrinya.
Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar baik bercerai hidup atau salah satu meninggaldunia. Harta suarang di bagi-bagi setelah hutang suami isteri dilunasi terlebih dahulu ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
Bila suami isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi menjadi dua antara bekas suami dan bekas isteri.
Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagao berikut:
Jika yang meninggal suuami harta suarang dibagi dua separoh merupakan bagian jurai suami dan separoh lagi merupakan bagian janda.
Jika yang minggl istri,harta suarang dibagi menjadi dua, sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
Apabila suami istri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri anak-anak akan menikmati bagian ibunya.
Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak bagian masing-masing sebagai berikut
Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak.
Jika yang meninggal istri harta suarang sperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk anak serta harta pusaka sendiri bagian ibunya.
REFERENSI
Tharer Asri. 2006. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan adat Matrilineal. Semarang: Universitas Diponegoro.
Comments
Post a Comment