makalah hukum adat kekerabatan
loading...
HUKUM ADAT KEKERABATAN
MAKALAH
Disusun untuk Menuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen :

Oleh :
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr. Wb
Puji syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelasaikan tugas yang diberikan oleh dosen kepada penulis. Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikut beliau sampai akhir zaman. Makalah ini memuat materi tentang HUKUM ADAT KEKERABATAN yang bertujuan untuk memperluas wawasan kita tentang sistem dan pembagian-pembagian hukum adat kekerabatan.
Dalam pembuatan makalah ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Karena itu penulis ucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak khususnya bapak............. selaku dosen mata kuliah Hukum Adat agar dapat lebih baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semuua pembaca.
Bandung, 1 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Pengertian Hukum Adat kekerabatan ............................................... 3
B. Pembagian Hukum Adat Kekerabatan .............................................. 3
C. Sistem Hukum Adat Kekerabatan ..................................................... 4
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Di dalam masyarakatanumum kita mengenal kekerabatan seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral keluarga unilateral dalam suatu masyarakat khususnya masyarakat pedesaan, sistem kekerabatan merupakan ciri utama dalam masyarakat desa dimana kekerabatan atau kekeluargaan masih sangat terasa atau terlihat. Hubungan kekerabatan sangat erat bagi masyarkat di negera-negara yang sedang berkembang seperti halnya indonesia. Hubungan kekerabatan ini merupakan ikatan atas dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ayah, ibu, atau garis keurunan keduanya. Hubungan kekerabatan menjadi lebih berarti apabila dihubungkana dengan berbagai segi kehidupan yang akan membawa spek budaya, agama, politik, keanggotaan suatau klan dan lain sebagainya. Sehingga hubungan antar anggota dan kedudukan di dalam organisasi sosial dapat dilihat berdasarkan ikatan kekerabatan yang dimilikinya. Menegenai fungsi dan arti dari berbagai macam adat istiadat dan pranata perkawinan, serta mengenai hak dan kewajiban warga dari berbagai macam kelompok kekerabatan, dan mengenai kaitanya antara sistem kekerabatan dengan kehidupan ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Menurut para ahli antropologi maupun sosiologi dalam kenyataan hidup manusia dalam masyarakat belum tentu dilaksanakan dengan taat dan rapi. terutama ketika masyarakat primitif, komunitas petani, dan kebudayaan tradisional sejak dasawarsa 1930 dan 1940-an mulai berubah, adat istiadat tradisional mulai menegndur di berbagai daerah di dunia. Dalam rangka penelitian sistem kekerabatan dalam dasawarsa tahun 1950-an suatu pergeseran perhatian, itu dari sistem-sistem dan pranata kekerabatan yang dapat di definisikan, di deskripsikan dan diklasifikasikan secara tegas dan jelas, dan anggotanya biasanya patuh adat ke sistem kekerabatan dengan anggota-anggotanya yang cenderung menyimpang dari adat atau dikenal dengan istilah: lose strukture “atau dalam artian lebih longgar susunan sosial yang memberikan banyak kelonggaran kepada individu untuk mengubah aturannya sesuai dengan keperluanya dalam keadaan-keadaan tertentu. untuk itulah kami dalam makalah ini yang berjudul Hukum Adat Kekerabatan mencoba menjelaskan pengertian hukum adat kekerabatan, sistem hukum adat kekerabatan dan pembagian hukum adat kekerabatan” yang akan di bahas di BAB II.
B. Rumusan Masalah
dari penjelasan lattar belakang di atas terdapat beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apa pengertian hukum adat kekerabatan?
2. Bagaimana sistem hukum adat kekerabatan?
3. Apa saja pembagian hukum adat kekerabatan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum adat kekerabatan.
2. Untuk mengetahui sistem hukum adat kekerabatan.
3. untuk mengetahui pembagian hukum adat kekerabatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Adat Kekerabatan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukana anak terhadap kerabat dan sebaliknya masalah perwalian anak. Jelasnya hukum kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (seketurunan), pertalian perkawinan dan pertalian adat.
B. Sistem Hukum Adat Kekerabatan
Sistem kekerabatn yang dianut dalam masyarakat adat indonesia didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yangbpara anggotnya terikat sebagai satu kesatuan karena persekutuan hukum tersebut merasa bersal dari moyang yang sama. Dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang menurunkan/diikuti oleh kesatuan hukum adat tersebut.
Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat indonesia dibagi menjadi:
1. Sistem kekerabatan unilateral
Sistem kekerabatan unilateral merupakan sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja yakni ayah atau ibu.
Sistem kekerabatan unilateral ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sistem kekerabatan Matrilineal
Sistem kekerabatan matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja terus menerus ke atas karena ada kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari seorang ibu asal. Misal: masyarakat Minangkabau, kerinci, semendo (Sumatra Selatan), Lampung, Paminggir.
b. Sistem kekerabatan patrilineal
Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki/ayah saja, terus menerus ke atas karena ada kepercayaan bahwa mereka bersal dari seorang ayah asal. Contohnya masyarakat asal (Sumatra Utara), Gayo, Tapanuli (Batak), Nias, Pulau Buru, Pulau seram, Lampung, Pepadun, Bali Lombok.
2. Masyarakat Bilateral/Parental
Sistem kekerabat bilatreral/Parental merupakan sistem kekerabatan yang anggota anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis ayah maupun ibu.
C. PembagianHukum Adat Kekerabatan
1. Kedudukan Pribadi
Sesungguhnya manusia pribadi dilahirkan di muka bumi mempunyai nilai-nilai yang sama, kesejahtraan, kehormatan dan kebendaan. tetapi kehidupan masyarakat, adat budaya serta pengaruh agama yang di anut manusia menyebabkan penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama.
Menurut adat budaya masyarakat minang kabau di bedakan menjadi antara beberapa tingkat kemenakan, yaitu kemenakan batali darah, kemenakaan batali adat, kemenakan batali Budi. Dengann adanya perbedaan pribadi seseorang dalam kehidupan masyarakat, maka berbedah pula hk-hak dan kewajiban serta kewenangannya dalam kemasyarakatan hukum adatnya. setelah kemerdekaan sudah banyak terjadi perubahan, tetapi masalah-masalahnya menyangkut ajaran agama, apa yang telah di uraikan dalam kitab suci maka masalahnya menjadi sensitif di kurungan peka. Kecuali agama Islam yang tidak membedakan martabat ummatnya selain yang takwa.
2. Pertalian Darah
a. Kedudukan Anak
dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian darah, maka yang dibicarakan adalah kedudukan anak kandung. menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang kedudukan anak, hak dan kewajibanya terhadap orang tua di katakan dalam pasal 42-43 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dengan keluarga ibunya menurut hukum adatanak kandung yang sah adalah anak yang dilahiirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun mungkin terjadinya perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu sebelum perkawinan (Lampung: kapang tubas) atau perkawinan itu merupakan kawin darurat untuk menutup malu (jawa: nikah tampilan bugis: patongkok sirih), karena yang menjadi suami bukan pria yang memberi benih.
Dikalangan umat kristen anak yang lahir diluar perkawinan supaya tidak menjadi masalah oleh karena anak haram itu dapat diakui dan disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan ayah dan ibunya (S. 1993-74). Dikalangan umat islam tidak ada lembaga mengatur pengsahan anak haram.
Kewajiban anak menurut undang-undang no 1-1974 terhadap orang tua bahwa anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehandak mereka yang baik (pasal 46 ayat 1). Dan apabila anak sudah dewasa maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuannya (pasal 46 ayat 2). Hal ini selaras dengan kehidupan keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental atau keluarga rumah tangga indonesia yang modern.
Menurut hukum adat dimana susunan kekerabatan yang patriliniar dan atau matrinial yang masih kuat, yang disebut disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi juga dalam garis kesamping, seperti para paman, saudara ayah yang laki-laki (batak,Lampung) dan para paman, saudara ibu yang laki-laki (Minangkabau, Semende) terus keatas, seperti kakek, buyut, canggah dan poyang.
Menurut UU No.1-1974 anak yang belum mencapai umur 18 tahnu atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya (pasal 47 ayat 1), sedangkan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1). Menurut hukum adat lembaga perwalian itu pada dasarnya tidak ada dan semua anak yang belum melakukan perkawinan dan dapat berdiri sendiri tetap berada dibawah kekuasaan orang tua dan kerabat menurut struktuk kemasyarakatan adatnya masing-masing.
b. Kedudukan Orang Tua
Menurut UU no.1-1974 pasal 45 (1-2) dikatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus seperti. Hal mana sejalan dalam masyrakat parental yang merupakan kewajiban ayah dan ibu, kakek dan nenek. Sedangkan dalam masyarakat patriliniar kewajiban memelihara dan mendidik anak dibebankan tanggung jawab kepada kerabat pihak ayah dan dalam masyarakat matriliniar kewajiban itu dibebankan tanggung jawabnya kepada pihak wanita.
Begitu pula dalam hal orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan (pasal 47 ayat 2) menurut hukum adat disesuaikan dengan susunan kekerabatannya. Sedangkan klausula yang menyatakan bahwa orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin, kecuali jika kepentingan anak menghendakinya (pasal 48), hal ini tidak dikenal dalam hukum adat.
Demikian juga yang dinyatakan dalam pasal 49 bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanny terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak, dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk ekali, juga tidak dikenal dalam hukum adat.
c. Anak dan Kerabat
Bagaimana hubungan hukum anatara anak dan kerabat dan sebaliknya kerabat terhadap anak kemanakan. Tidak diatur dalam UU No. 1-1974. Jadi bagaimana hak dan kewajiban anak terhadap kerabat dan sebaliknya, masih tetap berlaku menurut hukum adat dalam lingkungan masyarakat adat masing-masing.
Dilingkungan masyarakat adat patrilinial anak bukan saja wajib hormat kepada ayah dan ibu, tetapi juga terutama, pada para paman sudara laki-laki dari ayah (Batak: dongan tubu; Lampung: Apak kemaman), baru terhadap para paman saudara ibu (Batak: Tulang, Hula-hula; Lampung: Kelama, Lebu), kemudian terhadap para paman, suami dari bibi saudara wanita ayah (Batak: Namboru, Lampung: Apak menulung), dan paman bersaudara ibu (Lampung: kenubi). Diantara semua paman atau saudar tersebut yang ikut bertanggung jawab penuh memperhatikan, pengurusan dan pemeliharaan untuk kemenakan adalah kerabat lelaki saudara ayah ( Batak: dongan tubu; Lampung: Apak kemanan) sedangkan yang lainnya bersifat membantu.
Dilingkungan masyarakat matriliniar yang terutama wajib dihormati anak-kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelakimu, terutama yang berkedudukan mama kepaala waris. Hal mana bukan berarti bahwa kemenakan tidak kepada ”bako-baki” (kerabat ayah) sebagai “anak pisan”, atau juga kepada para suami dari saudara ibu yang wanita (pasumandan), namun kelompok kerabat ini bukan penanggung jawab penuh atas kepengurusan. Pemeliharaan dan pendidikan, oleh karena beban tanggung jawab tersebut teletak pada ibu dan mama.
Dilingkungan masyarakat palentar, termasuk kerabat patriliniar dan atau matriliniar di rantau, diman peranan orang tua sudah bertanggung jawab penuh atas pemeliharan dan pendidikan anak, maka semua anak wajib hormat kepada ayah dan ibu.
3. Pertalian Perkawinan
Terjadinya perkawinan menyebabkan timbulnya hal dan kewajiban suami isteri sebagaimana di atur dalam UU No. 1-1974 pasal 30-34. Tetapi hukum perkawinan nasional tersebut tidak mengatur bahwa dengan adanya perkawinan bukan saja timbul hubungan hukum antara suami isteri dengan anak-anak dan harta perkawinan, malainkan juga timbulnya hubungan hukum kekerabatan, anatara menantu dan mertua, hubungan periparan dan besanan dan antara kerabat yang dan yang lainnya.
a. Kedudukan suami isteri
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk penegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Demikian UU No. 1/1974 pasal 30-31.
Lebih lanjut dikatakan didalam UU No. 1/ 1974 bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan dan lahir batin satu kepada yang lain.
b. Dalam perkawinan bebas
Apabila ikatan perkawinan suami dan istri itu dalam bentuk “perkawinan bebas” yang kebanyakan berlaku di kalangan masyarakat “parental” seperti banyak terlihat pada keluarga-keluarga modern yang individual, apa yang merupakan type ideal dari bentuk rumah tangga dan perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional tersebut tidak banyak menimbulkan masalah.
c. Dalam perkawinan jujur
Bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur dari pihak kerabat pria kepada kerabat wanita yang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan adat patrineal. Untuk mempertahankan garis keturunan laki-laki, maka setelah perkawinan istri melepaskan kedudukan kewargaan adatnya dari kekerabatan bapaknya masuk dalam kesatuan kekerabatan suaminya.
d. Dalam perkawinan semanda
bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur. yang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan matrinial. untuk mempertahankan garis keturunan wanita. Dalam hal ini hak dan kedudukan suami berada di bawah pengaruh istri dan kerabatnya.
4. Pertalian Adat
Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian adat. maka yang terutama yang dibicarakan adalah tentang hubungan hukum antara “anak angkat”, termassuk juga “anak tiri”, anak asuh atau anak akuan. Terjadinya pengangkatan anak adalah dikarenakan tidak mempunyai kturunan. Dalam hubungan pertalian adat, kekaryaan, baik budi atau belas kasihan.
Perlindungan terhadap anak telah di atur oleh UU No. 4 Tahun 1979 yang telah berlaku sejak tanggal 23 Juni 1997. UU tentang kesejahtraan anak tersebut memuat 5 bab dan 16 pasal. Bab I mengatur ketentuan Umum. Bab II tentang Hak anak. Bab III tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bab IV tentang usaha kesejahtraan anak. Bab V tentang ketentuan peralihan dan penutup. Di dalam UU ini anak terlantar anak berkelakuan menyimpang dan anak cacat.
a. Anak tiri
Anak tiri adalah anak kandung bawaan janda atau bawaan suami duda yang mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (Batak: pareakhon, mangabia; Karo: lakoman, Sumatra Selatan: anggau Lampung: nyikok, semalang) di mana istri kawin dengan saudara suami. anak tiri tetap berkedudukan sebagai anak dari bapak yang melahirkanya. begitu pula jika terjadi kawin duda yang telah mempunyai anak, dengan saudara istri, yaitu kawit serorat (Batak: ganchihabu, singkat re; Lampung: nungkat, nuket,; Jawa: karang wulu). Kdudukan hukum anak tetap sebagai anak dari ayah yang melahirkan. Di masyarakat jawa yang parental pun demikian anak tiri itu di angkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya karena ia tidak mempunyai anak.
Di rejang Bengkulu anak tiri dapat di angkat oleh seorang suami yang tidak mempunyai keturunan anak kandung, untuk menjadi waris penerus keturunanya. Setelah ayah kandung si anak meninggal dunia. Dengan di angkatnya anak tiri tersebut maka terjadilah hubungan hukum antara anak tiri dengan bapak tiri sebagaimana anak kandung dengan bapak kandungnya. Pengangkatan anak tiri menjadi anak tingkat oleh seorang bapak yang putus keturunan (Rejang: putus jurai, Lampung: mupus) di lampung harus dilaksanakan denga upacara adat, terang di hadapan prowatin (parra pemuka adat). Di kalangan masyarakat Batak hal tersebut “ngukup anak” tetapi di lingkungan masyarakat Batak hal tersebut tidak dapat dilakukan.
b. Anak angkat
Kedudukan anak angkat dapat dibedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan (Lampung: tegak tegi), anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkat. Jika anak angkat tersebut menjadi penerus keturunan dengan mengawinkannya dengan anak wanita kandung bapak angkat di bali disebut “nyentame” dan anak angkat itu menjadi “sentane tarikan” yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung.
Disebut anak angkat adat karena perkawinan, terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda (Batak: marsileban). Di batak jika suami yang di angkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak dari kerabat “namboru” (marga penerima darah) dan jika istri yang di angkat itu orang luar maka dia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang marga pemberi darah).
Dikatakan anak angkat adat sebagai kehormatan adalah pengangkatan anak atau pengangkatan saudara (Lampung: adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan. misalnya mengangkat seseorang pejabat pemerintahan menjadi saudara angkat.
c. Anak asuh
Anak asuh adalah anak orang lain yang diasuh oleh suatu keluarga, sebagaimana anak sendiri. Termasuk dalam golongan ini adalah anak-anak yang disebut “anak pancingan” karena belum mempunyai anak.
BAB III
KESIMPULAN
1. Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukana anak terhadap kerabat dan sebaliknya masalah perwalian anak.
2. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja.
3. Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki/ayah saja.
4. Sistem kekerabat bilatreral/Parental adalah sistem kekerabatan yang anggota anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis ayah maupun ibu.
5. Hukum adat kekerabatan terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Kedudukan pribadi
b. pertalian darah
c. pertalian perkawinan
d. pertalian adat
6. Hubungan kekerabatan berdasarkan pertalian darah ada tiga yaitu:
a. kedudukan anak
b. kedudukan orang tua
c. anak dan kerabat
7. Hubungan kekerabatan berdasarkan pertalian perkawinan ada empat yaitu:
a. kedudukan suami istri
b. dalam perkawinan bebas
c. dalam perkawinan jujur
d. dalam perkawinan senanda
8. Hubungan kekerabatan berdasarkan pertalian adat tiga yaitu:
a. anak tiri
b. anak angkat
c. anak asuh
DAFTAR PUSTAKA
https://adiyoariwibowo.wordpress.com/2013/03/08/sistem-kekerabatan-masyarakat-adat-di-indonesia/
Soekanto Soerjono. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Saragih Djaren. 1980. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Trasito Bandung.
Hadikusuma Hilman.
semoga membantu dan berkah.
ReplyDeletesilahkan, semoga bermanfaat. sukses selalu juga
ReplyDeleteterima kasih telah mampir di blog ini
ReplyDeletesama sama, semoga dilancarkan aktivitas akademiknya
ReplyDelete